Sabtu, 03 Agustus 2013

Writing Challenge #1

Tentang Aku

Sebenarnya agak-agak gimana gitu nulis tentang diri sendiri. Tapi demi menyembuhkan kebekuan otak dan kekakuan jari yang akut, ngga pa pa deh. Bismillah...



Foto di atas diambil di sebuah studio foto di Surabaya. Aku lupa kapan tepatnya. Yang pasti aku masih SD dan saat itu sedang liburan sekolah. Ya, that's me. Paling kiri. Aku sulung dari tiga bersaudara. Lima bersaudara sih, kalau dari ibu yang berbeda. Nanti mungkin aku cerita tentang ini. Kapan-kapan, Insya Allah. 
Fotonya udah jadul banget ya. Iya lah, sekarang aja aku udah 35 tahun. si bungsu di foto itu udah 29 tahun. Kalo kata buku bahasa daerahku dulu waktu SD, kami ini pancuran kapit sendhang. Tiga bersaudara, laki-laki di tengah. Ini foto yang paling kusuka. Soalnya di foto ini, aku yang paling tinggi. he.he.. Semakin berjalannya waktu, aku jadi yang paling nggak tinggi. :P

Aku dibesarkan di lingkungan keluarga yang agamis. Pendidikan agama adalah yang utama bagi keluargaku. Bahkan saat SD, aku juga disekolahkan di Madrasah. O ya, aku menghabiskan masa kecil sampai lulus SD di Lamongan. Masa kecil di Lamongan berarti dekat dengan sungai, perahu, sawah, tumpukan batang padi. Juga masjid. Sejak kecil kami diajak untuk dekat dan cinta dengan agama yang kami anut. Dengan sholat berjama'ah lima waktu di masjid, mengaji  selepas maghrib di masjid. Indah. Bahkan sampai sekarang aku punya ingatan masa kecil saat aku berlari-lari bersama teman-teman menuju ke masjid untuk sholat Jum'at, dan aku terjatuh karena mukenahku "nyrimpet". Ah, jadi kangen masa-masa itu.

Ketika kemudian aku melanjutkan SMP di Surabaya, lingkunganku berubah 180 derajat. Nggak ada lagi sawah, batang padi, dan  tentu saja, nggak ada lagi berlarian ke masjid. Tapi untuk yang terakhir ini, sepertinya bapak sudah mengantisipasi. Beliau memasukkan aku di sebuah SMP Al-Irsyad. Sebuah SMP dengan pelajaran agama yang lumayan dan memisah murid laki-laki dan perempuan. Konon, bapak memilih sekolah ini karena di sini, tidak ada yang namanya acara Maulidan dan semacamnya. he..he..
Di sini, mataku mulai terbuka. Aku mulai melihat dunia yang berbeda. Susah payah aku membuka diri berbaur dengan teman-temanku. Delapan puluh persen lebih dari mereka adalah keturunan arab. Dengan berbagai kelebihan fisik dan keberlimpahan materi, mereka bagaikan bumi dan langit denganku. Tapi alhamdulillah, walaupun dengan tergagap, aku berhasil menyingkirkan "rasa berbeda" dan "kecil" , dan menjadi bagian dari mereka. Di sinilah aku mulai belajar. Bahwa diri kitalah yang seringkali menjadi penghalang untuk maju.

Dengan pengalaman seperti itu, aku menjalani masa SMA lebih mudah. Fase ini bapak mulai melepasku. Beliau menyerahkan urusan memilih sekolah penuh padaku. Dan akhirnya aku diterima di SMAN 9. Aku lebih santai. Tapi di sini, aku lebih sering merenung tentang hidup. Mulai mempertanyakan berbagai hal. Termasuk diantaranya masalah menutup aurat. Oh ya, aku mulai menutup aurat saat aku SMP, meskipun belum sempurna. Di SMA lah aku mulai konsisten berjilbab. Karena di sini, aku mulai sadar bahwa ternyata, ini bukan sekedar menutup rambut. Tapi lebih pada menunjukkan identitas keislaman pada orang lain. Saat masuk SMA, tahun 1993, berjilbab bukanlah pilihan yang populer. Dari lebih dari tiga ratus siswa baru, hanya empat orang yang memakainya. Di kelasku sendiri, aku satu-satunya yang memakainya. Ya, aku kembali memasuki zona tidak nyaman. Tapi di sinilah aku mulai memperbaiki diri. Lebih semangat mempelajari agama. Lebih menjaga prilaku. Meskipun sulit. he..he.. Tapi aku bersyukur, berbagai pelajaran kehidupan kudapat di sini. Pelajaran tentang bagaimana menenggang, menghargai, menghormati. Kok kayak pelajaran Pkn banget. Tapi suer, emang kayak bhinneka tunggal ika deh. Aku bergaul dengan teman dari berbagai agama, suku. Mulai yang ancur banget sampe anak SKI-Rohis sekarang-.  Sepertinya, pengalaman di SMA paling top deh. Termasuk kehilangan ibuku, setelah Ujian akhir.

Saat kuliah, biasa aja. Nggak terlalu bergejolak kayak di SMA. Yang bergejolak justru kondisi di rumah sih. Tapi aku nggak bisa cerita sekarang. Aku kembali memasuki zona nyaman. Kuliah di UNESA, aku seperti bertemu dengan teman-teman SD. Teman-teman dari berbagai daerah dengan semangat dan kepolosannnya. Dengan mimpi-mimpi yang sama, menjadi anak bangsa yang membuat orang tua bangga. Dan di sinilah aku sekarang. Menjadi guru matematika. Aku bersyukur bisa jadi bagian terdepan dalam mencerdaskan bangsa. Tapi, aku masih mengejar mimpiku yang lain. Menjadi penulis fiksi. Aku masih bermimpi. Suatu hari nanti, namaku ada di sampul sebuah novel, atau kumpulan cerpen. Insya Allah. Mudah-mudahan saja di usia yang nggak muda lagi ini, aku masih sanggup berlari, jatuh, bangkit, dan menggapai mimpi-mimpiku.